Rabu, 05 April 2017

Pesantren, dari "Adrahi" Hingga Kartu ATM

Oleh H. Usep Romli HM

DULU, pesantren yang hanya mengajarkan kitab-kitab? klasik -disebut "kitab kuning"- disebut sebagai "pesantren tradisional",? sekarang disebut "pesantren salafiyah". Mungkin agar lebih mentereng,

Pesantren, dari Adrahi Hingga Kartu ATM (Sumber Gambar : Nu Online)
Pesantren, dari Adrahi Hingga Kartu ATM (Sumber Gambar : Nu Online)

Pesantren, dari "Adrahi" Hingga Kartu ATM

mengikuti kemajuan zaman.

Maka tentu saja, era "tradisional" jauh berbeda dengan era "

salafiyah". Santri-santri pesantren tradisional kurun waktu 20-40 tahun yang

lalu benar-benar tradisional. Berpenampilan khas: sarung, kampret, dan

Ustadz Felix Siauw Official Blog Resmi Felix Siauw

kopiah beludru hitam. Tidak ada yang coba-coba pakai kopiah putih alias

kopiah haji, atau kopiah model dan potongan lain di luar kopiah beludru

Ustadz Felix Siauw Official Blog Resmi Felix Siauw

hitam seperti aneka model tutup kepala warna-warni yang banyak dipakai

santri zaman sekarang. Kopiah putih merupakan ciri bagi yang sudah

menunaikan ibadah haji. Kopiah di luar model serta warna beludru hitam

dianggap bukan kopiah santri.

Santri sekarang menamakan tempat tinggal mereka asrama. Kamar

dilengkapi tempat tidur, berkasur, dan berbantal empuk. Santri zaman dulu,

tinggal di kobong. Petak-petak kamar kecil yang merupakan bagian dari

bangunan pondok. Alat tidurnya hanya sehelai tikar pandan. Jarang pakai

bantal. Waktu tidur, kepala sering tanpa ganjal.

Kebutuhan makan harus masak sendiri, sebelum atau seusai

mengaji. Di bagian samping pondok, biasanya disediakan sebuah tempat semacam

dapur yang lazim disebut "tungku".

Alat memasak cukup sebuah kastrol sehingga menuntut ilmu di

pesantren sering diguyonkan menjadi "kastrologi". Sebab menanak nasi liwet

di dalam kastrol merupakan keahlian tersendiri para santri. Lauknya cukup

(kalau ada) sepotong ikan peda beureum. Tak pernah digoreng (karena tak ada

minyak kelapa) atau dibakar (takut gosong). Cukup dimasukkan ke atas nasi

liwet yang airnya baru surut. Oleh karena itu, menanak nasi liwet di

pesantren sering dijuluki elmu sabuku curuk ditumpangan peda beureum.

Keahlian lain dalam hal urusan perliwetan ini, para santri mampu

membuat kerak tsani. Kerak dua lapis, atas dan bawah. Ini dilakukan apabila

persediaan beras sudah amat menipis, sedangkan kiriman dari orang tua belum

datang. Perut diisi kerak cukup tahan lama menghadapi lapar. Keripik

singkong atau jarangking yang juga keras-keras mirip kerak, biasa menjadi

bekal cadangan para santri karena punya kemampuan mengenyangkan perut.

Santri abad Milenium tentu akan tertawa geli mendengar informasi

semacam itu. Mereka beruntung menjadi santri "salafiyah" yang sudah mengenal

makanan ransuman, indekos atau beli sendiri. Di saku mereka tersedia kartu

ATM yang dapat digunakan setiap saat, apabila kiriman bekal dari rumah

terlambat. Santri "tradisional" 20-40 tahun yang lalu, boro-boro punya ATM.

Uang recehan di saku juga jarang ada.

Adrahi

Rasa kebersamaan dalam keprihatin di lingkungan pesantren

tradisional benar-benar terjalin kuat. Prinsip ta-awanu alal birri wat taqwa

(kerja sama dalam kebajikan dan takwa) yang merupakan perintah Allah SWT

(Q.S. al Maidah: 2), benar-benar ditaati dan dilaksanakan sehari-hari.

Santri-santri senior, tanpa harus diminta, siap membantu santri-santri

junior. Mereka sigap membantu memperkenalkan cara-cara hidup di pesantren.

Mulai dari memasak, makan, hingga membaca kitab kuning, tanpa melalui

formalitas semacam perpeloncoan atau masa orientasi studi. Semua berjalan

otomatis. Saling bantu membantu, saling memberi motivasi.

Bahkan, praktik makan pun tak terlepas dari rasa kebersamaan.

Empat atau lima santri menggabungkan beras untuk ditanak pada satu kastrol.

Setelah masak dimakan secara berjamaah. Nasi liwet dihamparkan di atas niru

atau daun pisang. Memang ada untung rugi. Santri yang gembul akan menyita

bagian santri yang caman-cemen. Namun Alhamdulillah, semua santri pesantren

tradisional, tak pernah kehilangan nafsu makan. Rata-rata semua gembul,

walaupun lauk nasi cuma ikan peda, cabai rawit, atau garam. Tak pernah

tersisa remah sebutir pun di atas niru atau daun pisang bekas alas nasi.

Sebulan sekali, tiap santri mendapat kesempatan pulang ke rumah

masing-masing, bergiliran. Secara tidak langsung, santri yang pulang

mempunyai kewajiban membawa adrahi (oleh-oleh) jika kembali lagi ke

pesantren. Santri yang tidak membawa adrahi akan mendapat gelar qorun alias

kikir. Suka disindir cap jahe atau buntut kasiran. Sindiran yang menunjukkan

sikap pelit dan tidak mau berbagi.

Adrahi para santri, biasanya dikumpulkan di atas niru. Satu dua

niru penuh aneka macam makanan, yang asin yang manis, yang kering yang

basah. Opak kolontong, ulen, ranginang, sale pisang, goreng jarangking, tape

singkong, bugis, rebus ubi jalar, dan taburan sarundeng, saling campur-baur

satu sama lain. Tidak masalah. Yang penting halal dan enak. Perut santri

sangat mudah berkoalisi dengan makanan apa pun.

Rendah Diri

Waktu itu, jarang santri yang merangkap sambil sekolah sebab? pondok pesantren masih benar-benar mandiri. Bukan lembaga pendidikan? alternatif seperti sekarang. Menjadi santri atau siswa sekolah adalah pilihan pasti. Salah satunya harus dijalani penuh.

Tak heran jika terjadi gap antara pesantren dan sekolah, antara

santri dan pelajar. Banyak santri yang merasa rendah diri jika harus pergi

ke tengah kota. Sebaliknya, tak jarang anak-anak sekolah ngajago di kawasan

pesantren. Kasus semacam ini, sangat plastis dan realistis dikisahkan oleh

Rachmatullah Ading Affandi (RAF) dalam bukunya Dongeng Enteng ti Pasantren.

Pengalaman Kang Ading (panggilan akrab RAF) pada buku itu

terjadi tahun 1940-an. Zaman Jepang, tapi masih relevan dengan kondisi dua

puluh tahun kemudian (tahun 1960-an) tatkala penulis menjadi santri sebuah

pesantren tradisional di Garut.

Untuk menghapus rasa rendah diri di kalangan santri, biasanya

dicarikan kompensasi, pelampiasan. Para santri meyakinkan diri masing-masing

bahwa eksistensi mereka tidak kalah oleh eksistensi para pelajar. Bahkan,

punya banyak kelebihan. Para santri memperlajari ilmu-ilmu dunya wal

akhirat, para pelajar cuma memperlajari ilmu-ilmu dunia saja.

Memang tidak salah. Selain mempelajari ilmu-ilmu syariat (hukum

Islam) atau fikih, menghapal wirid, doa, dan ilmu-ilmu ukhrowi lainnya, para

santri terjun pula ke bidang-bidang kegiatan duniawi.

Ada yang ikut membantu kiyai memelihara ikan sambil belajar tata

cara mijahkeun (menetaskan telur ikan). Ada yang memelihara kebun tomat,

cabai, dan sayuran. Ada juga yang menjadi tukang cukur dengan mayoritas

langganan para santri, keluarga kyai, dan masyarakat sekitar. Semua

aktivitas itu dilakukan sebelum dan seusai ngaji, atau pada waktu libur

(biasanya hari Kamis dan Jumat). Semua merupakan sambilan saja sebab yang

diutamakan adalah bekal akhirat. Urusan dunia hanya sekedar jangan lupa

saja. Berpedoman kepada firman Allah SWT, Q.S. al Qashash ayat 77 : Wabtagi

fima atakallahud daral akhirata wa la tansa nasibaka minad dunya. Dan sabda

Kangjeng Nabi Muhammad saw.: Imal li dunyaka ka annaka taisyu abada wa mal

li akhiratika ka annaka tamutu ghadda. Carilah kebutuhan duniamu seperti

kamu akan hidup abadi, dan carilah kebutuhan akhiratmu seperti kamu akan

mati besok.

Karena merasa tamutu gadha (akan mati besok), dan perjalanan di

akhirat amat panjang maka mencari bekal ukhrowi menjadi prioritas utama.

Hidup di dunia, amat fana cukup sambilan saja.

Terpadu

Memasuki tahun 1970-an, kondisi mulai berubah. Antara pesantren

dan lembaga pendidikan umum, berangsur-angsur berkolerasi. Bahkan, kemudian

menyatu sama sekali. Sekarang, tiap pesantren rata-rata merupakan gabungan

dari pendidikan salafiyah (kajian kitab kuning) dan madrasah (sekolah

berorientasi umum). Santri-siswa dipadukan dalam kesatuan yang utuh dan

harmonis. Santri tidak lagi rendah diri berhadapan dengan siswa dan siswa

tidak lagi menyombongkan diri di hadapan para santri.

Bahkan, banyak sekali santri melanjutkan ke perguruan tinggi.

Bukan hanya menempuh strata I, melainkan ke jenjang S-2 dan S-3. Para

mahasiswa yang belum mengenal dunia pesantren, diprogramkan masuk pesantren

sesudah menyelesaikan studinya, sebagaimana ditradisikan di Universitas

Islam Bandung (Unisba), sejak beberapa tahun lalu.

Santri sarungan yang ahli dalam ngaliwet sabuku curuk

ditumpangan peda beureum dan memproduksi kerak tsani, mungkin hanya tinggal

kenangan. Juga adrahi yang menjadi trade mark santri tahun 1960-an ke

belakang. Kini para santri sudah mengantongi ATM, sudah menggenggam HP.

Kalau dulu, santri "nasrif" dan "ngerab" -tradisi menghapal ilmu

Sharaf-Nahwu- sambil mengangsur kayu bakar di tungku, santri sekarang

bepantalon dan berdasi model mutakhir, sambil main game di komputer

berprosesor Pentium IV. Ikut menerjuni kemajuan zaman dengan bekal keilmuan

yang diperolehnya di pesantren dan lembaga pendidikan umum. Akan tetapi,

tetap memegang prinsip: Idza lam takun milhan tuslih, fa la takun zubabatan

tufsid. Jika tidak mampu menjadi garam yang melezatkan, janganlah menjadi

lalat yang menjijikkan.

Memang, para santri yang mengemban ilmu dunawi dan ukhrowi harus

jadi garam yang melezatkan masakan. Bermanfaat bagi kehidupan nyata di

masyarakat. Jika tidak, lebih baik menyingkir dulu, membenahi dan menambah

bekal ilmu, daripada menjadi lalat yang merusak hidangan dan kesehatan.

H. USEP ROMLI H.M, Lahir di Limbangan, Garut, Jawa Barat, 1949. Pendidikan: pondok pesantren (1959-1067), SPGN Garut (1964-1966), IKIP Bandung Jrs.Pendidikan Bahasa Arab (1983-84), IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, Fak.Adab Jrs.Sastra Arab (1986).

Pengalaman kerja: PNS Guru SD (1966 -1984), Kepala Seksi Pengembangan Bahasa Daerah SD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prov.Jabar (1984). Mengundurkan diri tanpa meminta pensiun. Wartawan SK Harian Pikiran Rakyat Bandung (1984-2004). Pembimbing Ibadah Haji dan Umroh “Megacitra” Bandung, th.1996 s/d sekarang.

Pengalaman organisasi: aktivis IPNU/GP Ansor/Banser (1964-1973), aktivis “akar rumput” Partai Persatuan Pembangunan (PPP), th.1973-1997. Penasihat Lajnah Ta’lif wan Nasr PWNU Jabar (1996-2001), Anggota pengurus DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jabar (1998-1999). Ketua Seksi Pendidikan dan Latihan PWI Cab.Jabar (1998-2002).

Sebagai wartawan, pernah melakukan tugas jurnalistik di Eropa, Afrika, Asia dan Australia. Terutama kawasan Timur Tengah. Sekarang sebagai penulis lepas dan pengelola Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Raksa Sarakan di Desa Majasari, Kec.Cibiuk, Kab.Garut yang bergerak di bidang advokasi petani, beasiswa, anak asuh dan kelestarian lingkungan hidup.

Usep menulis sajak dan cerpen dimuat di Kalawarta Kujang, Mangle, Hanjuang, Gondewa, Galura, dll. Sebagai seorang santri, karya-karya Usep sangat kental dengan pesantren, diantaranya Bentang Pasantren (bintang Pesantren, novel, 1983), Cuerik Santri (Tangis Santri, kumpulan Cerpen, 1985) Jiad Ajengan, (Jampi-jampi Kiai, cerpen, 1991), Percikan Hikmah (kumpulan anekdot Islam, 1999), dll.

Usep pernah mendapat penghargaan Hadiah Sastra Mangle (1977), Hadiah Penulisan Buku Depdikbud (1977), Piagam Wisata Budaya Diparda Jabar (1982) serta Hadiah Sastra LBSS (1995).

Dari Nu Online: nu.or.id

Ustadz Felix Siauw Official Blog Resmi Felix Siauw Sholawat Ustadz Felix Siauw Official Blog Resmi Felix Siauw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar